Balada Halal-Halalan

Kasus: A seorang muslim diundang untuk makan di rumah B yang juga muslim. Yang A tahu—dari hasil pengamatan dan konfirmasi teman dekat B—B kadang-kadang masak makanan dengan daging ayam/sapi berlabel halal. Kadang juga tidak. Jika kamu jadi A, apa yang kamu lakukan? 

PS. latar cerita di atas dan dalam tulisan ini di negeri yang mayoritas penduduknya beragama selain Islam.

~~

Orang-orang seperti B yang muslim tetapi masih memasak menggunakan daging tidak berlabel halal sebenarnya banyak. Bahkan tak jarang di antara mereka pun menggunakan jilbab (bukan bermaksud mendiskreditkan yang belum berjilbab ya 🙂 ).

Dulu, pas saya baru sampai di Jepang, saya pikir semua orang Islam akan makan dan memasak makanan halal. Untuk itulah saya nggak pernah ragu ketika menerima undangan. Beberapa waktu kemudian, saya baru sadar bahwa kenyataannya nggak begitu. Dan mulailah masa-masa penuh kekhawatiran itu. Saya mungkin bisa aja langsung bilang,

“Saya nggak makan daging yang tidak ada label halalnya, tante. Saya makan yang lain aja.”

Tapi untungnya saya diingatkan, bahwa nggak semua orang dengan lapang dada mau menerima penolakan kita. Bisa jadi malah merusak tali pertemanan, bisa jadi malah musuhan (lebay). Meskipun sebenarnya juga ada beberapa orang yang terang-terangan bilang ketika mengundang kami, kalau daging yang mereka pakai tidak disembelih dengan halal dan terbuka ketika kami menolak makan dagingnya.

Untungnya, saya punya teman-teman yang seprinsip. Menghadapi kasus seperti di atas, apa yang kami lakukan?

Salah satu langkah yang biasanya kami tempuh adalah membawa daging halal sendiri dan datang lebih awal dari acara untuk membantu memasak. Ya sekalian nyumbang-nyumbang nggak cuma numpang makan ya. Ketika proses memasak itu juga kami bisa membantu meminimalisir percampuran daging yang tidak halal dengan yang halal. Nah, biasanya kan kalau orang Indonesia ya, sambil masak sambil ngobrol. Ketika ngobrol itulah kami selipkan sedikit keterangan kalau kita nggak makan daging yang “biasa”, sembari bercanda-canda. Siapa tahu, tuan rumah jadi maklum dan nantinya mau menyiapkan masakan dengan daging halal. Oh ya, btw, ide membawa daging sendiri itu malah datang dari ibu-ibu yang kadang-kadang masih masak dengan daging nggak halal loh.

Kalau memang terpaksa nggak bisa bantu masak dan nggak memungkinkan membawa daging sendiri (melihat kepribadian tuan rumah), saya pribadi biasanya tetap mengusahakan datang. Walaupun kalau ternyata ada urusan lain saya justru bersyukur, setidaknya bisa selamat 😀 Kalau sudah datang begitu, saya usahakan makan makanan yang nggak mengandung daging-daging. Misalnya bisa cari alasan ya cari alasan buat nggak makan dagingnya. Kalau misal menu yang disajikan cuma menu daging berkuah, ya terpaksa saya minum kuahnya saja, menyisihkan dagingnya.

Etapi kuahnya kan udah tercampur daging? Nah, itulah..sejujurnya sampai sekarang saya belum bisa benar-benar tegas untuk urusan yang satu ini 😦 (sad) Masih belum tahu bagaimana menanggapi kalau tuan rumah sampai tersinggung sama penolakan saya. Nggak kayak teman-teman lain yang tegas menyatakan tidak bisa hadir.

Kenapa pakai yang nggak halal?

Alasan teman-teman yang masih makan daging tidak halal itu biasanya:

  1. Daging halal lebih mahal harganya. Kalau beli daging ayam di toko halal, harganya masih lebih dari JPY1,000 per 2 kilogramnya. Baik daging impor (cth: dari Brazil) atau daging ayam Jepang.
  2. Ada yang nggak mahal sih..tapi di Nagoya aksesnya susah. Hmm sebenarnya nggak susah banget, tapi memang butuh waktu buat sampai ke supermarket-supermarket seperti itu dari rumah hunian mahasiswa, terutama yang dekat kampus.
  3. Mereka nggak “ngeh” kalau daging yang dijual pada umumnya itu nggak halal. Nggak halal kenapa? cara penyembelihannya kemungkinan besar tidak sesuai hukum Islam. Ya, kenyataannya banyak yang nggak sadar loh, mungkin kebiasaan di Indonesia ya? Kita mau beli ayam, sapi mah tinggal beli aja, nggak perlu datang ke penjagalan buat melihat langsung prosesnya, nggak perlu label halal karena kemungkinan besar yang menyembelih ya orang Islam yang tahu cara penyembelihan yang syar’i.
  4. Duh repot, ribet, ruwet. Ya begitulah, serunya hidup di negara sekuler yang muslim jadi minoritas 😀 Saya sendiri masih sering gondok ketika dalam keadaan lapar, nggak sempat bawa bekal dari rumah, mampir ke convenience store tapi berakhir dengan cuma beli nasi kepal sebiji—padahal pengennya roti/spageti—karena sudah terlalu lelah ngecek komposisi makanan yang semuanya ditulis dalam bahasa Jepang. Apalagi biasanya dalam keadaan lapar gitu sering kelewatan deh itu huruf-huruf kanji bahan makanan yang dilarang. Abunai (bahaya) banget lah.
IMG_6715
Halal sirloin steak dari Juliette Cafe, Nagoya. Stafnya ramah banget, masakannya juga enak-enak. Recommended! Maaf burem, difoto pas keburu laper 😛 Sumber: Dokumen pribadi.

~~

Persoalan yang satu ini masih aja jadi pembahasan yang hangat di antara saya dan teman-teman lain. Kalau misal kasusnya saya benar-benar nggak tahu tuan rumah itu pakai daging halal/tidak, selama ia masih seagama, ya bismillah aja. Kalau kasusnya di atas? hmm.. ada saran?

4 komentar pada “Balada Halal-Halalan”

    1. hihi, di Indonesia banyaak kan mbak? ini saya malah baru nyobain makan steak di sini. Emang enak bangett.
      Iyaa, pengalaman tak ternilai banget deh :”

      Suka

  1. nah!! hihihihihi mampir ga mau ngasih saran tapi mau bilang samaaaaa galaauuuu banget ituuu.. cuman dulu guru ngajinya dewi bilang, kalau yang nyuguhin itu muslim atau orang yang tau kita muslim beserta ke’unik’an kita, maka semua yang disuguhkan itu adalah halal, inshaAllah, tapi untuk yang bukan muslim harus ke yang kita pernah kasih tau deskripsi halal kita ya… kalau yang sesama muslim, kita wajib percaya bahwa yang dia suguhkan adalah halal juga(inshaAllah ini tanggung jawab penyedia makanan gitu), wallahu’alam bisshowab, tetep aja galau kadang-kadang fiuhhh T_T

    Disukai oleh 1 orang

    1. huhu, iyaa bu. Bu Dewi yang udah bertahun-tahun aja galau, apalagi saya haha. Dulu pernah juga dengar kajian soal itu bu, katanya dalilnya nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dulu terima juga makanan dari orang Yahudi. Tapi ternyata itu karena nabi tahu kalau orang yahudi yang ngasih beliau makanan itu selalu nyembelih pakai bismillah.
      Ya..akhirnya ikhtiar sebisanya ya bu :”)

      Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan Balasan ke Annisa FW Damarsya Batalkan balasan