Ngajar Bahasa Indonesia Tuh…

Sudah beberapa bulan ini aku punya arubaito (kerja part time) baru: mengajar bahasa Indonesia orang dewasa di sebuah language academy. Kalau biasanya cuma ngutek-utek dan ngajar anak-anak, itu pun sudah lama sekali nggak dilakuin, kegiatan rutinku tiap hari Minggu jadi yaa ngajarin kakek itu.

Nama beliau pak Hirata, seorang pengusaha mebel asli Jepang tapi sudah sering ke Indonesia. Beliau sering bepergian ke Indonesia dalam rangka mengembangkan bisnisnya. ย Bahkan kalau tidak salah, dua atau tiga dari empat menantu beliau adalah orang Indonesia!

Nah, kemampuan bahasa Indonesia pak Hirata ini sudah tergolong jago menurut saya. Selama kegiatan belajar pun kami hanya menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Bahasa Jepang yang digunakan sebatas arigatou seusai pelajaran saja. Metode belajar dengan beliau pun tergolong yang tidak memberatkan otak saya (hehe). Setiap pekan beliau akan membuat sebuah tulisan/artikel tentang kebudayaan atau keadaan masyarakat Jepang dalam bahasa Indonesia. Tugas saya hanya mengecek dan memberikan masukan padanan kata yang tepat. Setelah itu beliau akan membaca sebuah artikel berbahasa Indonesia dari buku yang ย kubawa. Dari situ kami akan membahas kata-kata apa saja yang tidak dimengerti dan mengecek pemahaman beliau. Mudah bukan?

Oh ya, biasanya ketika mengadakan trial lesson dengan calon siswa aku selalu menanyakan pelajaran model apakah yang dibutuhkan, kemampuan/target apa yang ingin dicapai. Dengan begitu akan lebih mudah bagi kita untuk menentukan bahan ajar dan metode yang akan digunakan. Seperti pada kasus pak Hirata, aku menggunakan buku berbahasa Indonesia yang isinya terdiri dari kumpulan artikel dengan bahasa yang gado-gado, mulai dari yang bahasa bagus sekali tapi mudah dimengerti, yang njlimet, bahkan ada yang berisi kata-kata gaul zaman sekarang atau bahasa Jawa yang banyak dipakai masyarakat Indonesia. Ini karena pak Hirata memang menginginkan belajar bahasa baik yang formal maupun tidak formal, katanya sih biar enak ketika berkomunikasi dengan berbagai kalangan ๐Ÿ™‚

Harus buka-buka buku pelajaran bahasa Indonesia lagi!

Beda pak Hirata, beda dengan pak Nakamura. Baru saja kemarin aku mengadakan trial lesson dengan pak Nakamura. Beliau adalah pegawai sebuah perusahaan otomotif yang beberapa kali mengadakan perjalanan ke Indonesia. Informasi yang kudapatkan sebenarnya minim sekali: level bahasa Indonesia beliau masih dasar. Sejujurnya, aku sering tidak percaya dengan informasi yang cuma segini, karena definisi dasar tiap orang itu berbeda-beda.

Dan kenyataannya..memang begitu. Pak Nakamura meskipun dibilang dasar ternyata dasarnya tidak dasar-dasar amat. Bahkan pertanyaan yang beliau ajukan pun membuat saya mulai pekan ini sepertinya harus rajin-rajin membuka situs-situ belajar bahasa Indonesia. Contoh pertanyaan beliau: imbuhan me-kan itu maknanya apa? Menggunakannya bagaimana? Kenapa katanya menyayangi itu harus ada i-nya di belakang? Kenapa begini-begitu..? Ah, untung saja beliau nggak tahu kalau nilai bahasa Indonesiaku itu rata-rata!

Sejauh ini, pengalaman mengajar bahasa Indonesia adalah salah satu pengalaman yang bisa dibilang berharga banget. Dengan mengajar, baik ketika mengajar anak-anak ataupun orang dewasa, aku jadi merasa harus terus belajar dan nggak meremehkan apapun itu termasuk hal-hal yang (dulunya) kuanggap super biasa aja (alias gak perlu diperhatiin banget). Sekarang, jadi merasa betul kalau belajar (apapun itu asal baik) harus sungguh-sungguh. Mau agama, mau biologi, mau bahasa Indonesia, karena ya..who knows kalau tahu-tahu ilmu tata bahasa Indonesia pun diperlukan juga pas udah di luar negeri.

Anyway, intinya ngajar bahasa Indonesia di LN tuh.. seru, menantang, bikin aku bangga sebagai orang Indonesia (wow ternyata ada yang butuh belajar bahasa kita euy!) dan lebih sadar kalo aku, orang Indonesia, juga harus pintar berbahasa Indonesia ๐Ÿ™‚

36-kompasianer-merajut-indonesia
Ini sampul buku yang kugunakan untuk materi ajar dengan pak Hirata. Isinya kumpulan tulisan dari para penulis di kompasiana. Secara konten menurutku bagus, walaupun secara bahasa ada banyak sekali yang perlu diedit agar sesuai EYD hehe.ย 

 

Akhir kata…targetku: Membuat belajar bahasa Indonesia itu mudah dan menyenangkan nggak kayak matematika (eh).

Jepang dan Orang Asing

“Did you know, there are places in Japan where foreigners are not allowed to enter?” Tanya saya pada Masaki.

“Really? I didn’t know that.”

“Yes, there are. It’s because Japan doesn’t have a law against discrimination toward foreigners.”

“Yeah, that’s true.”

20140123_1142893
sumber: https://gabgoeszen.wordpress.com/tag/discrimination/

Yep, saya juga baru mengetahui dua hari yang lalu ketika menghadiri presentasi Claudia di Studium Generale (G30 For Everyone). Ia mengatakan bahwa Jepang tidak memiliki ketetapan hukum yang melarang diskriminasi terhadap orang asing. Ia juga mengungkapkan bahwaย gaijin (bahasa Jepang, orang asing) di Jepang masih dianggap sebagai beban, bukan aset positif yang mampu meningkatkan kekuatan ekonomi.

Flashback ke akhir musim semi dua tahun yang lalu.

Waktu itu Nagoya sedang mengalami badai salju yang cukup hebat. Butiran besar salju berjatuhan dari langit. Hari itu adalah hari kedua saya arubaito (kerja paruh waktu) sebagai room attendant alias tukang bebersih kamar (plus kamar mandi) di sebuah hotel ternama di Nagoya. Karena agenda hari kedua hanya latihan selama setengah hari, segera setelah menyelesaikan makan siang saya pun bersiap pulang.

Masih sambil melawan derasnya hujan salju, kira-kira 100 meter dari tempat kerja saya mendapat telepon dari tante W, ibu-ibu dari Indonesia yang membantu saya mendapat perkerjaan di hotel tersebut. Tante W berulang kali mengucapkan permintaan maaf pada saya di awal telepon. Ternyata, beliau mendapatkan informasi dari ketua divisi bersih-bersih hotel bahwa saya tidak bisa lagi bekerja di sana.

“Memangnya kenapa, Tan?”

Sepertinya menurut tante W, penyebab utama dari pemecatan saya adalah permintaan tamu yang sempat melihat saya ketika kami berpapasan di koridor hotel. Waktu itu saya sedang berlatih dengan seorang teman ditemani ketua room attendants.

Saya merasa sangat heran. Pasalnya di hari pertama saya bekerja, ibu-ibu ketua room attendants sudah mengatakan bahwa saya tetap diperbolehkan menggunakan kerudung. Beberapa waktu sebelum saya bekerja pun sudah ada seorang ibu dari Indonesia yang juga bekerja dengan mengenakan kerudung. Hanya saja, beliau mengingatkan saya agar memasukkan kerudung saya ke dalam apron seragam. Berhubung waktu itu saya belum mendapatkan seragam, saya pun tidak melakukannya.

Ketika itu, sepanjang perjalanan pulang saya juga merasa sedih, mengingat keadaan finansial saya saat itu sedang sangat buruk. Meskipun demikian, di sisi lain saya merasa bebas dan bahagia. Karena dengan begitu saya tidak perlu memendekkan kerudung saya dan mengganti rok saya dengan celana panjang ๐Ÿ™‚

Anyway, sepengetahuan saya, salah satu penyebab diskriminasi terhadap orang asing di Jepang adalah image gaijin yang kurang baik (cth: suka melanggar peraturan, kurang sopan, seenaknya sendiri, dll) dan rasa segan orang Jepang untuk berinteraksi dengan gaijin (karena lemahnya kemampuan bahasa asing, takut salah, rasa malu yang tinggi, dll). Untuk itu jika kamu berkesempatan datang/tinggal di Jepang, jadilah gaijin yang baik, produktif, dan mudah bergaul dengan warga lokal. Dan karena masing-masing dari kita memiliki batas pergaulan yang berbeda-beda (entah karena perbedaan kultur atau aturan agama), maka cobalah untuk menjelaskan batasan tersebut agar setidaknya warga lokal paham dan bisa meghargai kita. Satu kaidah umum saja sih,

aaeaaqaaaaaaaai6aaaajdixn2i4ztuyltbhztctndgxoc05zgizltu4ngzlotm1zdi3za.

 

Jari Keriting Transcriber Amatiran

new

Akhirnyaa, dini hari tanggal 30 April yang lalu sayaย mencapai menit ke-48 lebih 55 detik file rekaman terakhir. Selesai juga tugas saya! Yah setidaknya untuk sementara, alhamdulillah. Tapi tetap saja, jari saya masih terasa “keriting” sampai sorenya, ditambah jari tengah tangan kanan yang sepertinya butuh istirahat total.

Keritingnya karena ngerjain skripsweet, Nis?

You wish! Saya bahkan belum memilih lab untuk berlabuh setahun ke depan, lol. Ini tidak lain karena tuntutan kerjaan paruh waktu saya beberapa hari terakhir sebagai research assistant yang tugas utama dan sebenarnya adalah mentranskripsi file rekaman sebuah wawancara penelitian. Dengan kata lain, tugas utama saya adalah mendengarkan baik-baik percakapan dalam rekaman tersebut dan menuliskan ulang setiap detail yang saya dengar semirip mungkin. Sedetail apa? Ya termasuk juga di dalamnya suara deheman, bunyi dentingan, hingga keheningan yang tercipta di antaranya.

Saya mengambil tawaran menjadi transcriber dadakan ini sejak 7 April yang lalu.ย Ingatan tentang kebutuhan income yang mendesakย membuat saya beberapa waktu yang lalu jadi lebih berbunga-bungan dengan tawaran kerja paruh waktu daripada undangan makan bersama. Dan akibat dari terlalu berbunga-bunga tadi, saya jadi agak kurang mikir panjang temasuk mengambil pekerjaan yang satu ini. Sebenarnya nggak hanya ini sih, tapi ya sudahlah. Tidak ada salahnya untuk mencoba, bukan?

Yang terlintas di pikiran saya tentang kerjaan transcriber ketika mengiyakan tawaran dari kak Median adalah: seru, bisa dibawa pulang jadi bisa mengerjakan tugas lain, tidak memakan waktu lama, dan mudah. Ketika menerima master file dan mendengarkan penjelasan kakaknya pun saya merasa oke-oke saja, malah cenderung menganggap remeh. Dengan pedenya juga, saya mengiyakan deadline tanggal 27 April yang akhirnya saya langgar sendiri ๐Ÿ˜ฆ

Saya ndak ingat kapan, tapi saya baru membuka file master dari kak Median sekitar sekitar beberapa hari setelah menerimanya, setelah urusan lab visit agak longgar. Dan saya super kaget, file berformat *cda yang saya dapatkan tidak bisa di-rewind atau diputar dengan setengah kecepatan dengan windows media player di PCย saya. Setelah memperhatikan kecepatan percakapan di rekaman dan mencoba menuliskan percakapan di menit-menit awal, saya jadi merasa sangsi bisa mengerjakan jika hanya mengandalkan software yang satu itu. Yah, ternyata pekerjaan yang satu ini lebih menantang dari perkiraan saya sebelumnya.

Untuk memudahkan tugas saya, akhirnya saya browsing di internet tentang pekerjaan transcriber dan tips-tips ketika mentranskripsi sebuah rekaman. Salah satu tips yang saya dapatkan adalah: Get transcription software to do the job. Dan pilihan saya jatuh pada Express Scribe yang menyediakan masa trial 30 hari. Versi gratis dari software ini menyediakan berbagai fitur dasar yang penting termasuk rewind, fast forward, play fast speed, play slow speed (kecepatannya bisa kita atur sendiri) yang bisa dimanfaatkan dengan keyboard shortcuts atau foot pedals (yang terakhir saya tidak mencoba).

Alhamdulillah, saya sangat terbantu bekerja dengan software tersebut. Walaupun tetap saja saya merasa kecepatan saya mentranskripsi masih lambat sekali, sekitar minimal jam untuk setiap 10 menit rekaman (diputar dengan kecepatan normal, 100%) dengan akurasi tingkat sedang (?). Padahal… master yang diberikan kepada saya ย berdurasi lebih dari 4 jam atau 240 menit. Harusnya sih saya bisa menyelesaikannya dalam maksimal 2 hari dengan syarat kecepatan konstan dan tidak ada kegiatan lain. Tapi kenyataannya, saya begadang berhari-hari karena di 1,5 jam rekaman awal saya masih berkerja dengan kecepatan 50% disambi tugas sekolah, pun setiap hari masih ada kuliah hingga pukul 6 sore JST. ย Dan lagi…Saya masih sering terlewat pada bagian-bagian berbahasa Inggris atau Jepang (yang hanya sekitar 20% dari keseluruhan rekaman), sehingga di satu bagian itu ada yang harus diulang berkali-kali. Tak dipungkiri bagian bahasa Indonesia pun masih ada yang terlewat.

Bagian yang paling ‘seru’

Bagian yang paling ‘seru’ dari kegiatan ini adalah ketika semua orang yang terdapat di dalam rekaman itu berbicara di saat yang sama atau berdekatan sehingga terjadi overlap. Bagaimanapun saya harus berusaha mendengarkan perkataan setiap orang, dan menuliskannya (dalam versi saya) kira-kira seperti ini:

I3: Paling tidak dua orang, tiga orang..
S1: (Interrupt) Loh, lebih malah
I3: Iya, lebih dalam artian ada sekali sepuluh, sekali lima orang
I1: (Overlap) Berarti memang mereka memang mereka dibantu oleh sekolahnya..
S1: (Overlap) Sekolahnya

Ini baru sepersekian menit dari percakapannya dengan hanya melibatkan tiga orang di dalamnya. Kenyataannya, keadaan seperti itu ada banyaaaak di dalam satu file rekaman. Setelah mengalami sendiri, saya jadi paham dengan cerita kak Median yang bilang bahwa pernah sekali ia menerima hasil transkrip sepanjang 20 halaman untuk 5 atau 7 menit rekaman dengan 10 orang responden. Wuah!

Pengalaman saya mungkin nggak berarti apa-apa buat orang lain. Tapi bagi saya, ini berharga sekali walaupun, gajinya juga sangat nggak seberapa. Yah kapan lagi kan coba ngetik seheboh itu dan dapat hingga 78 halaman dalam kurang dari 24 jam? Alhamdullillah ternyata ada lagi satu dari sekian kan part-time job yang suitable untuk perempuan berjilbab? Nggak perlu sampai menggadaikan jilbab. Dan lagi..denganย saya tersibukkan dengan transkripsi, saya jadi berusaha lebih baik lagi mengatur waktu. Walaupun masih ada saja yang keteteran seperti tugas di Majalah 1000guru (saya mohon maaf untuk tim redaksi yang sudah saya repotin), Buletin KMI Muslimah, scientific papers yang tidak terbaca maksimal, bahkan kondisi kesehatan yang jadi nggak karuan. Pelajaran penting buat saya: Jangan menunda-nunda dan jangan terlalu menganggap enteng segala sesuatu, terutama hal baru!ย  Jadi ngerasa kan Nis kalau waktu kamu sesedikit itu gimana??

..Jika kamu berada di sore hari, jangan menunggu pagi hari, dan jika engkau di pagi hari janganlah menunggu sore.. ย (HR. Bukhori, hadits ke-40 dari hadits Arba’in Nawawiyah)

Sumber gambar: di sini

Nagoya, Golden Week 3 Mei 2015

We Gonna Take a Break for Your Prayer

Terharu setelah baca surat elektronik dari Mr. Takeo Kobayashi. Beliau adalah manager sebuah komunitas budaya bernama ACE di Nagoya.

Terharu kenapa?
*smile* Tentunya ini beralasan. Ceritanya, saya diundang oleh komunitas tersebut dalam salah satu pertemuan mingguan mereka sebagai guest speaker. Nah, tugas saya adalah ngobrol dengan mereka dalam bahasa Inggris tentang berbagai macam topik, terutama hal-hal spesial mengenai diri(atau komunitas) saya misalnya tentang Indonesia dan atau Islam.
Pertemuan nanti akan jadi pertemuan saya dengan komunitas kami yang kedua dalam tiga bulan ini. Dua bulan yang lalu, tepat sehari sebelum pertemuan diadakan saya mengirim email kepada Mr. Kobayashi, meminta izin jeda sholat barang 10 menit di waktu diskusi kami karena waktu itu waktu maghrib adalah sekitar pukul 19 sementara waktu sholat Isya’ pukul 20.08. Padahal diskusi tersebut sendiri dimulai pukul 18.00 dan berlangsung hingga dua jam selanjutnya. Sayangnya rupa-rupanya Mr. Kobayashi tidak membaca email saya yang bisa dibilang mepet itu.*saya tahu dari email yang dikirim untuk saya beberapa hari kemudian* Walhasil saya yang waktu itu berharap-harap bakal dapat jeda malah pupus harapan. Saya sempat berburuk sangka waktu itu.

Lanjutkan membaca “We Gonna Take a Break for Your Prayer”

Uang Tidak Bisa Membeli “Kita”

Bismillah,

Uang tidak bisa membeli segalanya

Entah darimana pepatah itu datangnya, klasik memang. Klasik sekali. Tapi tak perlu ragukan kebenarannya.

Pagi ini, tiba-tiba tante Tutik menelpon,
“Nisa gimana kabarnya?”
“Kurusan tante, hehe..” biasa, jawab sambil ketawa ketiwi nggak jelas.
“Wah..gak ada temen makan ya? pasti makannya gak enak.” Sahut tante dari seberang.
Lagi-lagi saya jawab dengan ber-hehehe ria. Pagi ini kami membicarakan masalah part-time job yang akan saya kerjakan di rumah tante Tutik selama libur musim panas ini. Kerjaannya nggak susah sih (kata tante) yaitu ketik-mengetik artikel atau apalah-saya tak terlalu yakin-dalam bahasa Jepang tapi dengan huruf romaji, didikte pula. Tante menambahkan,
“Maaf ya, tante gak bisa menggaji kamu dengan baik.”
bagi saya yang sedang menikmati kesendirian sih gaji berapapun ga masalah. Toh ada hal lain yang terbayar dengan kerja saya: kebersamaan. Dengan adanya tante yang jadi teman ngobrol, makan siang, atau berbagi masalah-masalah tertentu setidaknya saya nggak ngerasa depresi lebay karena sendirian di rumah ditinggal teman-teman sekostan mudik ke Indonesia hiks dan nggak ‘kabur’ mulu ke media sosial yang menurut penelitian malah menambah kesedihan pemakainya [1] ๐Ÿ™‚

Uang tidak bisa membeli ย kebersamaan, cinta, apalagi ‘kita’

Sekedar berbagi, selain (akan) bekerja paruh waktu (atau biasa disebut arubaito) bersama tante Tutik, saya juga sudah melakoni arubaito di tempat lain tepatnya di lab salah seorang profesor bidang genetika di kampus kami. Masalah gaji, bukan untuk menyombongkan diri ya temans,nbisa dibilang gaji yang saya dapat sebagai anak S1 bisa dibilang amat lumayan (apalagi yang kadang-kadang mengalami “paceklik” secara tiba-tiba :p). Padahal pekerjaan yang saya lakukan tidak terlalu sulit, tak banyak mikir juga, hanya membuat medium agar, beberapa larutan buffer (yang sebelumnya sudah diberikan resepnya), serta beberapa lainnya yang barangkali akan saya ceritakan lain waktu. Tapi…meskipun saya dapat gaji lumayan dan pengalaman di lab yang amat berharga tentunya, saya seringkali merasa “sepi”. Mengapa? di lab tempat saya bekerja kebanyakan orang-orangnya meskipun saya kenal tapi kami jarang berkomunikasi kecuali sapaan konnichiwa, ohayou dsb, mereka amat sibuk dengan penelitiannya (ya iyalah). Jadi, walaupun sudah hampir dua bulan saya disana saya tak mendapat “teman” juga.

Sementara itu, banyak tempat lain dimana saya tidak menghasilkan uang atau materi bahkan kadang harus berkorban materi tetapi mendapat yang lain. Sesuatu yang berharga, kebutuhan pokok manusia yang nggak diajarkan di pelajaran IPS, tidak disebut dalam materi kebutuhan primer, sekunder atau tersier yaitu, cinta ehem. Jangan terburu-buru berpikir dangkal bahwa ini curhatan saya tentang cinta dengan lawan jenis loh ya, yang ini artiannya lebih luas-yah you know lah. Dari kebersamaan yang menumbuhkan pohon-pohon cinta, lalu lahirlah “kita”. Kita yang terikat dengan ikatan non-materi, yang merindu untuk saling berbagi, mengingatkan akan sabar dan kebaikan bahkan berlomba-lomba untuknya.

Dan kemudian menyitir sebuah potongan surat cinta dari Allah,

dan Dia (Allah) yang Mempersatukan hati mereka (orang yang beriman). Walaupun kamu menginfakkan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, tetapi Allah telah Mempersatukan hati mereka. Sunggah, Dia Maha Perkasa, Maha Bijaksana ( Al Anfaal: 63)

Suatu ketika saya pernah mendengar sebuah kajian tentang salam antara sesama muslim. Ustad yang memberikan kajian tersebutsayangnya saya tidak mencatatnya melontarkan pertanyaan,
“Apa kau bisa membeli salam tulus temanmu dengan hartamu?”
Beliau pun melanjutkan dengan mengatakan bahwa salam bukanlah perkara yang ringan.
Bukan perkara yang ringan? elaah kan cuma salam doang..

Eits, jangan terburu-buru kawan. Sekarang coba perhatikan contoh ini: Ada dua orang yang saling membenci satu sama lain, kita misalkan saja si A dan si B. Keduanya tak bisa akur. Sifatnya bagaikan air dan minyak, hubungannya bagaikan Tom dan Jerry, dan berbagai perumpaan lain yang senada. Karena rasa benci yang teramat sangat itulah bahkan untuk menatap muka satu sama lain saja menjadi perkara yang (hampir) mustahil. Nah, kalau kasusnya demikian, bisakah kau memaksa keduanya untuk melaksanakan sunnah yaitu saling memberi salam dan kemudian menjabat tangan[2] dengan janji bayaran beberapa rupiah? hm…

Kembali lagi, pepatah “Uang tidak bisa membeli segalanya” mungkin belum terlalu terasa efeknya bagi sebagian orang seperti pelajar. Mungkin kau juga termasuk di antaranya. Barangkali nanti, ya, suatu saat nanti kau bisa merasakannya, mengalaminya sendiri. Ketika harta yang kau punya tak bisa membeli waktu, kesempatan akan hal-hal “ajaib”, kebahagiaan bersama keluarga, cinta tulus suami/istri, dan tentunya “kita”.

[1] Artikel menarik berjudulย Facebook is Making You Sadย dari ScienceShot.
[2] Sunnah berjabat tangan dibawakan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya dalam bab yang berjudul Babul Mushafahah (bab: Berjabat Tangan). Dalam bab tersebut disebutkan salah satu hadits tentang berjabat tangan:
ุนูŽู†ู’ ู‚ูŽุชูŽุงุฏูŽุฉูŽ ู‚ูŽุงู„ูŽ ู‚ูู„ู’ุชู ู„ูุฃูŽู†ูŽุณู ุฃูŽูƒูŽุงู†ูŽุชู’ ุงู„ู’ู…ูุตูŽุงููŽุญูŽุฉู ูููŠ ุฃูŽุตู’ุญูŽุงุจู ุงู„ู†ูŽู‘ุจููŠูู‘ ุตูŽู„ูŽู‘ู‰ ุงู„ู„ูŽู‘ู‡ู ุนูŽู„ูŽูŠู’ู‡ู ูˆูŽุณูŽู„ูŽู‘ู…ูŽ ู‚ูŽุงู„ูŽ ู†ูŽุนูŽู…ู’

Dari Qatadah Radhiyallahu anhu ia berkata, “Saya bertanya kepada Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, ‘Apakah berjabat tangan dilakukan dikalangan para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Beliau radhiyallahu anhu menajwab, ‘ya’

Nagoya University Central Library, Higashiyama Campus. Tetangga sebelah kiri sedang belajar dengan keras rupanya.