Oow, Ketahuan: Serba-serbi Mendirikan Sholat di Negeri Sakura (1)

“Do you pray in campus? Where? I’ve never seen you praying.” Tanya senpai saya, R suatu siang.

“In the classroom. Of course when no one there. ” Jawab saya sambil tertawa

~~~

Permasalahan sholat seringkali menjadi kekhawatiran terbesar kami, muslim di Jepang. Bukan masalah boleh/tidaknya. Tapi menemukan tempat yang pas untuk sholat seringkali tidak mudah. Kalau mau sih, kami bisa sholat di mana saja; di lounge kampus, di dekat kantin, di ruang-ruang kelas meskipun ada orang lain. Tapi, bisa jadi kan ritual yang kami lakukan itu ternyata berdampak pada ketidaknyamanan orang lain? Apalagi tidak banyak orang di Jepang yang tahu tentang Islam dan ritual ibadahnya.

Maka, ketika mencari tempat sholat pun kami harus memperhitungkan kenyamanan orang lain dan keamanan kami. Menjaga kenyamanan orang lain adalah harga mutlak di Jepang. Kalau sebagai tetangga kita sering berisik haha hihi maupun menyetel suara musik keras-keras, bisa-bisa hari itu juga rumah kita akan diketok polisi dan diberi peringatan. Kalau kita terlalu heboh di dalam kereta, ketahuan makan atau berbicara di telepon, yakinlah pasti ada masanya tiba-tiba masinis memberikan pengumuman yang mengingatkan kembali adab-adab di dalam kereta. Dari mana masinis tahu padahal ia selalu stay cool di balik kemudi dan tidak jalan-jalan? Tentu saja ada oknum yang merasa terganggu yang melapor ke petugas kereta.

Begitu pula dengan beribadah. Jika ibadah kita membuat orang lain tidak merasa nyaman, atau ditakutkan akan mengganggu orang lain, tak segan-segan pak satpam/polisi akan memberi peringatan. Terutama kalau mereka tak pernah tahu tentang Islam dan kebutuhan kita akan sholat.

Pernah suatu ketika, saya dan seorang teman X berjalan-jalan di mal di Nagoya. Waktu itu sudah masuk waktu maghrib dan kami memutuskan untuk sholat di sana. Dengan pede, kami pun pergi ke tangga darurat untuk sholat. Eh tak beberapa lama setelah takbiratul ihram, seorang satpam mendatangi dan mengusir kami. Diberikan alasan apapun, tetap saja ia keukeuh melarang kami. Akhirnya, kami pun sholat di pinggir sebuah jalan pintas yang kecil dan gelap di samping mal tersebut masih dengan perasaan was-was akan diusir lagi.

Namun, kejadian seperti contoh di atas sebenarnya jarang terjadi asal kita pandai memilih tempat. Orang Jepang pun banyak yang tidak terlalu mempermasalahkan kalau misalnya kita sholat di taman, di dekat ruang tunggu di stasiun, atau di tempat umum lainnya yang masih wajar. Karena rata-rata, mereka adalah orang yang menjaga privasi orang lain dengan tidak ikut mencampuri urusan orang. Paling-paling ya..jadi perhatian dari jauh saja, apalagi kalau sholatnya berjamaah.

Tak hanya sholat, wudhu pun juga harus tengok kanan-kiri

Salah satu kendala yang sering kami hadapi selain tempat sholat adalah tempat wudhu. Di restroom  di Jepang, hampir selalu ada wastafel. Namun begitu, kita tidak bisa sembarangan angkat kaki ketika wudhu. Sudah pasti akan jadi bahan tontonan, dan bisa jadi memancing teguran dari orang sekitar. Belum lagi, seringkali wastafel kamar mandi di taman-taman letaknya lumayan terbuka yang tentunya menjadi masalah tersendiri bagi para muslimah.

Untuk itulah sebelum wudhu, sama halnya menyeberang jalan, kami harus tengok kanan-kiri, kalau perlu juga belakang. Memastikan  ketika akan mengangkat kaki tidak ada orang di sekitar kita, atau setidaknya jika pun tak mengangkat kaki, pastikan panjang antrean agar bisa menyesuaikan waktu wudhu.

Qiblatnya ke mana sih?!

Semenjak tinggal di Jepang, aplikasi atau alat yang wajib di bawa ke mana-mana adalah kompas. Ini berguna sekali sebagai alat penunjuk kiblat. Di Jepang, arah kiblat sekitar 291°. Oh ya, selain aplikasi kompas biasa, kami juga biasanya menggunakan aplikasi semacam Muslim Pro yang memiliki qibla locator. Lucunya, si qibla locator ini seringkali tidak konsisten dan kadang menimbulkan perselisihan. Pasalnya, aplikasi yang sama di satu hape dan lainnya kadang berbeda arah. Walhasil, kalau sudah seperti ini sih biasanya kami mengambil arah pertengahan. (Semoga Allah mengampuni dosa kami)

Omairi shitain desu ga… (Saya mau beribadah..)

“Omairi shitain desu ga, koko de yatte mo ii desu ka?” (Saya mau beribadah di sini boleh?)

“Omairi shitain desu ga, sukoshi yattemo ii desu ka?” (Saya mau beribadah sebentar boleh?)

Dua contoh kalimat di atas adalah kalimat yang sangat berguna ketika meminta izin menggunakan suatu tempat atau izin pergi sebentar untuk sholat. Di sesi perkuliahan atau lecture, ada beberapa lecturer yang membolehkan, mereka ini biasanya orang-orang non Jepang, ada juga yang tidak membolehkan, biasanya orang Jepang yang kolot. Nah, pada kasus tidak diperbolehkan, biasanya kami izin ke kamar mandi saja dan bukannya langsung bilang izin sholat. Kalau yang demikian seringnya diperbolehkan.

Creek… Ups.

Tap tap tap…ada suara langkah kaki mendekat. Creek..dan pintu pun terbuka. Ups, ketahuan lagi sholat.

Momen-momen ketahuan sedang sholat sembunyi-sembunyi di suatu ruangan sering sekali terjadi. Kebanyakan sih, si pembuka pintu akhirnya pergi lagi walaupun ada juga yang mengamati sebentar ritual kami.

Saya pribadi pernah suatu hari lalai tidak mengunci pintu ruang kelas, dan blam! ketika pintu dibuka ternyata seorang profesor masuk. Pernah juga suatu hari dengan PDnya saya masuk ke ruang kelas yang saya kira kosong karena gelap. Eh, pas baru akan memulai sholat nampaklah sesosok bayangan yang bergerak… Saya kaget, si bayangan tadi batuk-batuk. Ternyata senpai saya terbangun dari tidurnya, melongo. Walaupun akhirnya ia tidur lagi setelah dijelaskan bahwa tidak masalah saya sholat ketika ada orang lain di ruangan.

 

7 komentar pada “Oow, Ketahuan: Serba-serbi Mendirikan Sholat di Negeri Sakura (1)”

    1. Salam kenal mbak, makasih sudah mampir ^^
      Tergantung yaa mbak, sensasinya ada asal nggak malas aja. Begitu udah malas ya alamat saja terbawa arus buruk di sini (Na’udzubillah)

      Suka

  1. Tapi kayaknya jepang lebih toleran ketimbang beberapa negara eropa, ya gak?
    Beberapa temen saya yg di jepang, sampai disedian ruangan khusus sama senseinya buat shalat 🙂

    Saya sendiri bersyukur kuliah yang di dalam kampus ada masjidnya, meskipun kl shalat jumat harus shalat di luar 🙂

    Suka

    1. Iya kak alhamdulillah, nggak terlalu rasis di Jepang. Susahnya paling kalau berhadapan sm org yg belum tahu Islam sama sekali/tdk pernah berinteraksi dgn org asing/terlalu strict 🙂
      Alhamdulillah ya ^^ kalau di Turki tp masih ada susah jg untuk sholat?

      Suka

      1. Masih di beberapa kampus yang masih menganut sekuler kolot, tapi tidak sampai melarang cuma tidak dibangun2 fasilitasnya. Padahal, dalam sepuluh tahun terakhir banyak masjid yg dibangun di kampus2.

        Suka

Komentar saya...