Sepotong Kenangan dari Zimbabwe

Tanggal 18 Juli 2015 yang lalu kami berkunjung ke salah satu pusat pengenalan JICA (Japan International Cooperation Agency) di daerah Nagoya. Apa itu JICA? Singkatnya, JICA adalah sebuah badan milik pemerintah Jepang yang bertugas membantu dan men-support negara-negara berkembang di seluruh dunia. Cerita lebih lanjut tentang profil JICA yang aku dapatkan dari kunjungan ini insyaa Allah akan diposting kapan-kapan ya 😉

JICA memiliki beberapa program, salah satunya adalah mengirimkan volunteer baik senior mauapun junior, expert maupun volunteer biasa ke berbagai negara berkembang untuk membantu negara tersebut. Bantuan yang diberikan bisa dalam aspek pendidikan, pertanian, teknologi, dsb.

Singkat cerita, kunjungan kami kali ini disambut oleh dua staf perempuan JICA. Salah satunya memperkenalkan JICA secara umum sementara yang lain membagikan pengalamannya ketika menjadi relawan di Zimbabwe. Sayangnya, aku lupa nama kedua Mbak tersebut. Karena akan fokus pada cerita mbak relawan, jadi kita sebut saja beliau Mbak Re.

Mbak Re, warga negara Jepang asli, beliau lahir dan tumbuh di Jepang. Beliau adalah seorang guru seni musik. Bergabung dengan JICA sebagai relawan. beliau mendapatkan tugas mengajar di perguruan tinggi di Zimbabwe. Tugas itu beliau terima kira-kira 10 tahun yang lalu.

“Apakah kalian pernah mendengar negara Zimbabwe? Apakah kalian tahu itu di mana?” tanyanya pada kami ketika hendak memulai ceritanya. Kami serempak mengangguk. “Wow!” Katanya. “Kalian hebat! Bahkan orang Jepang banyak yang tidak tahu ada negara bernama Zimbabwe.” Lanjutnya sambil terkekeh. Ia pun menunjukkan peta Afrika dan letak Zimbabwe di dalamnya.

“Apa yang kamu bayangkan tentang Zimbabwe atau negara-negara di Afrika?” Tanyanya lagi. Menurut pengakuannya, dia pertama kali mengenal Zimbabwe dari gambar benteng Zimbabwe yang berlatar belakang langit biru, rerumputan nan hijau, serta tanah merah.

“Panas, kering.”

“Padang pasir.”

“Hewan liar.”

Hampir semua dari kami menjawab dengan jawaban-jawaban negatif. Well, begitu juga dengan mbak Re (kalau saya tidak salah ingat). Namun ternyata..Zimbabwe itu tidak se-Afrika yang biasa seperti yang saya tonton di acara Animal Planet 😀

Ketika mendarat di bandara dan akhirnya sampai di Harare, ibukota Zimbabwe, mbak Re sangat kaget karena ia melihat ada begitu banyak mobil di Zimbabwe. tak ketinggalan di antara mobil-mobil itu adalah sebuah mini truk produksi Jepang untuk beberapa generasi sebelum beliau. Ia bahkan melihat robot kucing yang terdapat di salah satu lampu merah serta gedung tinggi yang indah di sana.

Perjalanan dari Harare ke kota tempat mbak Re bertugas berjarak lima jam perjalanan menggunakan bis. Bis kecil berisi 25 orang itulah tempat ia pertama kali merasakan jatuh cinta pada Zimbabwe. Di sana ia nampak ‘berkilau’ sendiri. Satu-satunya orang berkulit putih yang duduk di antara orang-orang kulit hitam. Tak ada pembedaan, tak ada perlakuan yang tidak pantas. Malah, senyum ramah yang didapatnya.

Ia ingat, di dalam bis itu ada kernet yang bertugas menerima ongkos bis. Dan karena mereka duduk sangat berdempetan, tak ada celah untuk bergerak, ia harus mengangsurkan uangnya kepada penumpang lain yang duduk di depannya. Selanjutnya, penumpang di depannya akan mengangsurkan ke penumpang yang duduk lebih depan lagi, dan seterusnya hingga sampai di tangan pak kernet. Mengetahui uangnya sampai dengan selamat, tak berkurang sedolar pun, mbak Re jadi sangat bahagia. Semudah itu, ia pun jatuh cinta pada warga Zimbabwe ❤

Di perguruan tinggi tempatnya bertugas, mbak Re mengajarkan cara membaca not-not balok pada guru-guru musik dan murid-muridnya. Mengajarkan cara memainkan keyboard serta bernyanyi lagu barat bersama-sama. Selama kurang lebih dua tahun, ia bertugas di Zimbabwe dan selama itu pula setiap bulannya ia dibayar kurang lebih 70 USD.

Krisis ekonomi melanda Zimbabwe tepat di tengah masa tugas mbak Re. “Saat itu keadaan benar-benar buruk”, ingatnya. Ketika ia pertama kali datang ke sana ia hanya melihat 4 tipe mata uang kertas dimulai dari nominal 10 dolar. Namun, ketika ia hendak meninggalkan Zimbabwe ia bahkan sudah memiliki uang kertas dengan nominal 100 billion dollar yang hanya cukup dipakai untuk membeli sebuah roti ukuran besar. Oh ya, cerita mbak Re tentang uang itu mengingatkan saya pada potongan koran Jawa Pos di rumah yang juga memberitakan hal serupa. Nggak nyangka, kalau saya akan mendengar ceritanya lagi setelah sekian lama! *Btw, ternyata itu nyata :”(

Ketika keadaan ekonomi semakin parah, alat-alat elektronik warga Zimbabwe tidak berguna lagi. Kulkas, rice cooker, kompor elektrik akhirnya dianggurkan. Tidak ada lagi listrik di sana. Pemerintah Zimbabwe membeli listrik dari negara sebelah karena mereka tidak memliki pembangkit listrik sendiri, dan ketika krisis terjadi, tak ada lagi dana untuk membeli listrik. Keadaan tersebut memaksa warga Zimbabwe hidup dalam kegelapan dan bergantung pada kayu-kayu bakar. Saat itu, setiap malam ketika mbak Re pulang dari mengajar di tengah kegelapan, anak-anak tetangganya membantunya agar bisa sampai rumah dengan selamat. Mereka meletakkan dahan-dahan kering sebagai penunjuk jalan hingga ke depan rumah mbak Re! Entah seberapa jauh, tapi yang pasti potongan kenangan yang ditorehkan anak-anak itu selalu mebuat mbak Re merasa sangat tersentuh :”)

Tak hanya listrik, berbagai jenis pasokan makanan pun tak bisa lagi diimpor. Tak ada lagi roti, daging sapi, daging babi, beras, maupun mentega di meja makan mereka. Gasoline tidak selalu tersedia, menyebabkan matinya transportasi di sana. Bis kota bisa sehari beroperasi, namun hari-hari berikutnya tidak. Supermarket bisa menjual banyak barang di awal bulan, namun tak ada sesuatu pun tersisa di akhir bulan.

Uang kertas di Zimbabwe ketika hiperinflasi melanda negara itu di tahun 2008. Sumber: wikipedia
Uang kertas di Zimbabwe ketika hiperinflasi melanda negara itu di tahun 2008. Sumber: wikipedia

Kabarnya, kini uang dolar Zimbabwe tak lagi berharga. Ya, hanya kertas tanpa harga. Kini, warga Zimbabwe menggunakan dolar Amerika dan mata uang negara-negara tetangganya untuk menjaga keberlangsungan perekonomian dan kehidupan di negaranya.

Di sela ceritanya, seseorang dari kami bertanya tentang pengalaman homesick mbak Re selama di sana. Hei, bukankah perantau hampir selalu punya pengalaman homesick?

Di saat itulah mbak Re bercerita tentang pengalaman diskriminasi yang pernah ia dapatkan. Sebuah fakta yang baru kami ketahui: warga Zimbabwe tidak menyukai etnis China. Terkadang di antara mereka ada yang bersifat anarkis terhadap orang-orang China atau yang tampak seperti China, sebagaimana yang terjadi pada mbak Re. Ia pernah dilempari telur oleh orang-orang yang mengiranya adalah orang China. Simply karena bagi mereka wajah Jepang dan China nampak sangat serupa. Hal itu sempat menyebabkannya trauma ke luar rumah maupun bertemu dengan tetangganya (Hikikomori). Tetangga mbak Re sampai harus menggedor rumah si ibu guru karena ia begitu ketakutan dan tak kunjung keluar rumah. Beruntungnya, mbak Re tak sampai berlama-lama mengalami trauma.

Di akhir ceritanya, mbak Re mengatakan bahwa ia begitu mencintai Zimbabwe. Ia pun ternyata sudah menguasai salah satu bahasa daerah di sana. Cerita mbak Re begitu menggugah saya, membuat saya merasa begitu beruntung, bersyukur. Oh ternyata, Indonesia masih jauuuuuh lebih baik keadaannya. Seandainya saya berada di posisi warga Zimbabwe, apa yang akan saya lakukan?

Alhamdulillah, Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmushshalihaat (artinya: “Segala puji bagi Allah, dengan nikmat-Nyalah segala kebaikan menjadi sempurna.”)

Di akhir pertemuan, saya sempat menyapa mbak Re secara pribadi. Saya tadinya mau (sok) tanya, “Ingin ke sana lagi?”

Eh si mbak memahami ucapan saya sebagai, “Saya ingin ke sana.”

Akhirnya dia malah bilang, “Ayo, ayo kita ke sana bersama-sama!”

Hihi, okee, saya juga jadi ingin ke sana! 🙂

*Ngomong-ngomong, saya harus segera persiapan ujian nih! Duh, Nis.