Untukku yang Rindu Menggenggam Salju

Kata-kata di foto itu pesan dari teman saya dalam satu sesi percakapan online kami 2 tahunan yang lalu. Nggak persis sama sih.

Waktu itu sudah dekat dengan waktu kepulangan ke Indonesia dan saya merasa agak risau. Nggak benar-benar bahagia.

Bagaimanapun juga, Nagoya, apato kami bertiga, masjid Honjin, dan orang-orang yang membersamai waktu 4 tahun di sana sudah jadi rumah bagi saya. Definisi rumah bukan lagi bangunan fisik semata.

Lagipula, waktu itu saya merasa bisa lebih berguna di Nagoya. Di Indonesia saya bisa apa? Nggak ada anak-anak yang kagok berbahasa Indonesia di kampung saya, pengajar TPA banyak sekali yang lebih mumpuni dan saya lebih cocok jadi murid mereka. Mungkin saya hanya bisa gegoleran di rumah, sementara waktu itu saya belum punya keinginan kuat melanjutkan studi S2.

Intinya, ada banyak kekhawatiran dan ketidaksiapan. Alhamdulillah, kata-kata teman saya waktu itu bisa sedikit meredakan kekhawatiran saya.

Dua tahun berlalu dengan segala ceritanya, dan saya rasa..saya semakin paham esensi dari kalimat yang teman saya sampaikan. Ketika saya menemui orang-orang yang berpikir,
“Wah enak sekali ya bisa kuliah ke luar negeri!”
“Kamu kok keren banget sih..”
“Duh, saya pas seumuran kamu aja pengen banget kuliah ke sana tapi gak bisa. Coba bisa kuliah lagi.”
“Kok nggak lanjut aja sih di sana? Daripada di Indonesia, eman-eman”
Dan lain-lainnya. Termasuk di antaranya adalah adek-adek manis yang berkeinginan kuliah ke luar negeri, namun qadarullah belum mendapatkan kesempatan itu.

Apalah artinya semua pujian jika ternyata saya masih nggak bisa mengenali agama saya sendiri. Bahkan untuk panduan beribadah sehari-hari saya masih mengandalkan searching di internet. Apalah artinya semua keindahan pergantian musim, jika pelan-pelan hati saya memaklumi banyak kemaksiatan dengan alasan toleransi, toh saya nggak melakukan, itu kan budaya mereka, dsb.

Maka saat-saat ini, ketika ada orang lain yang menganggap saya masih relevan untuk dimintai saran tentang kuliah ke Jepang, sebisanya saya berusaha seimbang. Dalam artian, saya tidak hanya “memanasi” mereka dengan kemajuan teknologi, ataupun sisi-sisi positif Jepang semata. Saya tahu itu sudah banyak sekali diketahui, dan memang cukup menggiurkan. Bagi saya, adalah sebuah kewajiban moral untuk tetap menyampaikan sisi negatif yang patut dijadikan pertimbangan. Termasuk di antaranya risiko terkait syariat agama jika lawan diskusi saya adalah seorang muslim, terutama muslimah.

Untuk itu, pada mereka yang muslim saya juga selalu menyampaikan bahwa persiapan kuliah ke Jepang (yang notabene muslim menjadi minoritas) butuh persiapan ekstra. Mirisnya, poin persiapan ini banyak sekali terlupa sebagaimana saya dulu juga yang nggak pernah terpikir tentang hal tsb. Apa itu? Bekal ilmu agama dan kesiapan iman. Minimal ilmu-ilmu dasar seperti tauhid, aqidah, fiqih ibadah sehari-hari. Jika memang sudah dalam tahap keberangkatan, buku-buku dasar panduan beragama sebaiknya diberi space khusus di bagasi.

Saya tidak akan memaksa mereka menerima yang saya sampaikan, karena saya juga pernah berada di posisi mereka beberapa tahun lalu. Saya juga tidak ingin membuat mimpi atau semangat mereka padam. Karena saya sedikit tahu rasanya ketika saya kehilangan mimpi-mimpi. Mereka bisa belajar mempertimbangkan sendiri. Jika ternyata keputusan akhir mereka dibuat dengan mempertimbangkan aspek syariat secara matang, maka itu semata-mata adalah hidayah dari Allah.

Lalu, apakah saya sendiri sudah nggak punya keinginan kuliah ke negara minoritas muslim?

Akan jadi kebohongan jika saya katakan tidak. Saya masih punya keinginan itu dan saya masih berikhtiar untuk itu. Tapi setidaknya, saya nggak sengotot dulu. Saya belajar menekan ego dan mempertimbangkan baik-baik, tidak memaksakan jika memang sudah jelas Allah nggak akan suka. Saya mencoba lebih legowo menerima kondisi yang saat ini atau nanti.

Anyway, pada akhir ikhtiar kita ada Allah yang menentukan di mana, bagaimana, kita akan ditempatkan sesuai ilmu-Nya. Maka seyogyanya kita tidak lepas dari memohon ditempatkan di tempat yang terbaik, yang membuat kita lebih dekat pada-Nya dan diri kita dijadikan keberkahan di dalam tempat tersebut.

Jogjakarta, 18 Agustus 2018
Yang sedang merindukan salju, yang dengan jahatnya dianggap garam oleh adek-adek TPA 😅

5 komentar pada “Untukku yang Rindu Menggenggam Salju”

  1. Dulu, pernah juga terlintas ingin bersekolah ke luar negri.
    merasa keren dengan orang2 yang belajar disana.
    Berpergian sendirian. Ke negara-negara yang dia suka.
    Kemudian, abis paham sedikit ilmu agama yang masih cetek ini
    Besyukur besar Allah tidak mewujudkan keinginan bersafar tanpa mahram sendirian.
    Mau apapun alasan keperluannya,,

    Semoga kamu bisa merindu salju bersama mahram ya dekk.. ^^

    Disukai oleh 1 orang

    1. Alhamdulillah yaa mbak..
      Dulu, aku pun baru tahu hukum bersafar tanpa mahram ketika sedang di pertengahan kuliah. Waktu itu sejujurnya stres banget. Di satu sisi merasa bersalah, tapi di sisi lain memang blm ada yg bisa menemani. Ada sih yg pernah nawarin untuk memfasilitasi ta’aruf tapi waktu itu aku sangat jauh dari kata siap menikah. Jadi ya..sempat galau-galau gimana gitu hehe.

      Aamiin, allahumma aamiin ^^

      Suka

Komentar saya...