Dari Tangsel ke Nagoya #2: Drama Interview Nagoya Univ

Jika Allah sudah berkehendak, sesulit apapun jalan di depan kita pasti bisa terlewati. Lalu, apakah kita sudah sungguh-sungguh berusaha untuk melewatinya? #ntms

Tulisan ini masih lanjutan dari sini.

Saya nggak pernah menyangka saya lolos dalam semua tahap seleksi beasiswa ILA empat tahun lalu dengan izin Allah. Beberapa waktu setelah  dinyatakan lolos tahap wawancara dengan pemberi beasiswa, kami langsung diminta mempersiapkan seluruh dokumen untuk melakukan pendaftaran ke universitas yang telah ditentukan. Jadilah, di tengah-tengah persiapan SBMPTN saya nyambi ngurus-ngurus dokumen beserta buntutnya.

Saya nggak akan membeberkan syarat apa saja yang diperlukan karena bisa dicari di web masing-masing univ (kalau kepo jangan malas! wkwk) dan secara garis besar masih sama dengan empat tahun lalu. Tapi salah satu yang membekas dalam ingatan saya adalah feeling ketika saya menuliskan motivation letter waktu itu. Saat itu, ketika saya menuliskan motivation letter saya benar-benar membayangkan diri saya berada dalam posisi yang saya impikan di masa depan dan bagaimana dengan belajar di Nagoya University merupakan bagian dari ikhtiar saya menuju impian tersebut. Menurut saya pribadi memang benar salah satu faktor yang mempengaruhi pembuatan esai motivasi diri tuh ya motivasi dan feeling kita sendiri. Katanya juga sih, semakin bisa membayangkan, merasakan, makin mantep juga esainya, tinggal ngepasin kata-katanya saja. Dan ya menulis esai motivasi diri itu nggak bisa menyalin dari orang lain, toh motivasi tiap orang beda-beda ‘kan?

Ah ya semua dokumen untuk pendaftaran ke Nagoya Univ waktu itu tidak hanya diunggah via pendaftaran online, tapi kami juga harus mengirimkan dokumen fisik langsung ke kampusnya yang tak hanya sekali dua kali, tapi berkali-kali. Akhir-akhir ini, ketika saya mengingat kembali masa-masa tersebut saya merasa amat bersyukur karena di tahun sebelumnya saya diberi rezeki memenangkan lomba yang ternyata hasil dari tabungan lomba tersebut bisa digunakan untuk mengirim dokumen yang benar-benar menguras kantong. Kalau tidak, mungkin saat itu saya sudah kehabisan uang bulanan di awal bulan 😀

Tak hanya pengiriman dokumen, waktu itu kami juga diharuskan menyediakan sertifikat nilai IELTS/TOEFL sesegera mungkin. Setelah beberapa pertimbangan kami pun memutuskan mengikuti IELTS. Qadarullahu wa ma syaa-a fa’ala saat itu tabungan saya yang nggak seberapa akhirnya habis, orang tua juga sedang tidak memiliki tabungan. Tapi Allah Mahabaik, mengirimkan bantuan di detik-detik terakhir sehingga saya tetap bisa bayar tes IELTS yang muahal itu. Alhamdulillah.

Semua proses unggah data dan pengiriman dokumen tahap awal selesai kira-kira sebelum wisuda. Setelah wisuda kami harus meninggalkan kampus IC dan kembali ke rumah masing-masing. Karena tak ada internet  dan komputer di rumah, hampir setiap hari saya harus pergi ke warnet untuk mengecek email. Akhirnya suatu hari datang juga pengumuman hasil document screening yang membawa saya ke tahap wawancara dengan pihak universitas untuk pilihan kedua saya (pilihan pertama ditolak). Masalah kemudian muncul karena wawancara dengan pihak Nagoya Univ disyaratkan melalui Skype. Dengan beberapa pertimbangan saya memutuskan meminjam notebook kakak sepupu saya. Qadarullah, Skype tidak bisa di-install di notebook beliau, meski sudah berkali-kali mencoba. Berhari-hari saya berusaha mencari alternatif dengan survei ke warnet-warnet langganan. Namun, melihat kondisi warnet yang selalu ribut rasanya jadi nggak mungkin buat wawancara di warnet.

Alhamdulillah beberapa hari sebelum hari-H ada saudara bapak yang bisa meminjamkan laptopnya plus modem dengan provider yang katanya paling bagus di zamannya. Meskipun demikian om saya tersebut masih merasa khawatir kalau-kalau internetnya tiba-tiba mati, maklum waktu itu jaringan internet belum sebagus sekarang. Maka beliau yang kebetulan carik (sekretaris desa) di desa kami berinisiatif menawarkan ruangan beliau di kantor desa yang sudah dilengkapi dengan internet Sp**dy. Dengan seizin pak kepala desa, saya pun diperbolehkan menggunakan fasilitas internet kantor desa dan melakukan interview di ruangan om saya. Rasanya alhamdulillah, bersyukur banget akhirnya bisa menemukan tempat interview yang pas.

screen-shot-2016-10-20-at-20-04-26

Saya kira drama pencarian internet berakhir di hari-H dan segalanya akan berjalan lancar tinggal persiapan mental saya saja. Ndilalah, ketika kami datang ke kantor desa pagi-pagi waktu itu…internet kabel yang kami gadang-gadangkan mati. Masya Allah.. Om saya langsung bertindak cepat dengan menelpon kantor cabang Sp* *dy. Petugas Sp**dy menjanjikan pukul 09:00 WIB internet sudah kembali ke kondisi normal. Saya udah ketar-ketir rasanya, karena interview saya dijadwalkan dari pukul 9:00-9:45 WIB! Untung saja kami masih mempunyai cadangan internet modem dengan pulsa ratusan ribu. Jadilah laptop om saya menyambung ke modem dan kabel LAN sekaligus. Saya menggunakan internet modem tersebut untuk melakukan uji coba, chatting sedikit dengan adik kelas sambil menunggu si LAN normal dan alhamdulillah selama masa percobaan semuanya berjalan mulus. Tapi, saya nervous banget!

Sekitar pukul 09:00 WIB pihak Nagoya Univ menelpon saya. Beberapa menit sebelumnya om sudah berusaha mensterilkan kantornya dengan menutup pintu depan dan mengosongkan ruangan beliau dari orang-orang. Proses wawancara melalui video call dengan pihak Nagoya Univ pun berjalan lancar. Seingat saya ada tiga orang interviewer yang tampak di kamera, dua orang dosen dari jurusan saya, dan seorang dari bagian admission office. Pertanyaan yang diajukan masih berhubungan dengan essay termasuk mengapa ingin belajar biologi, bidang apa dari biologi yang disukai, serta pertanyaan biologi dasar. Semuanya berjalan lancar hingga…pintu belakang ruangan saya terbuka dan beberapa orang petugas berjalan wira-wiri di belakang saya sambil sesekali nengok ke arah saya—yang otomatis penampakan mereka muncul di video call kami! Ya Allah.. Interviewer kelihatan bingung, saya juga bingung haha. Tapi kemudian om saya seperti sebelum-sebelumnya bertindak cepat dengan segera mengunci pintu belakang (baru nyadar ada dua pintu heu). Fiuh..saya bisa bernafas lega hingga kemudian..

Blam. Video call kami mati.😐

Saya udah nggak konsen nggak paham jaringan inet mana yang saya pakai waktu itu yang jelas jaringannya jelek banget (cry). Setelah beberapa menit, pihak univ berhasil menelpon kami kembali dan memutuskan untuk hanya menggunakan voice all instead of video call. Yang bikin saya kagum, mereka percaya banget kandidat yang sedang mereka wawancarai nggak akan nyontek :”

Hari itu tepat sebelum pukul 9:45 WIB akhirnya wawancara dengan pihak univ selesai, dengan damai. No more drama. Tapi hingga berjam-jam setelahnya tetap ada yang mengganjal di pikiran saya: saya lupa bahasa Inggris dari “pembelahan sel”. Padahal selama wawancara saya dan para dosen itu ngobrolin soal kanker yang pasti ada hubungannya dengan pembelahan sel. Hah. Dan nggak tau gimana saya jawabnya waktu itu  yang penting udahan aja 😂 Jazakumullahu khayraa Om dan pengurus kantor desa 😍

~~

Anyway, setelah saya resmi berstatus mahasiswi Meidai saya baru tahu bahwa ternyata yang berada di ruangan interview dan bertindak sebagai penilai nggak cuma tiga orang saja. Ada sepuluh orang lainnya (semua adalah professor jurusan) yang duduk di belakang kamera. Ini pun saya baru tahu dari teman yang datang langsung ke kampus untuk interview. Dalam kasusnya sama seperti saya: tiga orang duduk di hadapannya, dan sekitar sepuluh (atau lebih) professor lainnya duduk di belakangnya. Bedanya, dia benar-benar merasakan suasana dinilai oleh (minimal) 13 orang sekaligus. 😱

Dan ternyata secara kebetulan, problem per-internet-an juga sama-sama dialami oleh dua adik kelas saya (dari IC) ketika mereka mengadakan interview dengan pihak Nagoya Univ. Mulai dari internet kampus IC yang kurang kuat sehingga harus memonopoli internet satu kampus untuk interview dia seorang, hingga modem yang juga bermasalah. 😀

~~

Acknowledgment (selain yang disebutkan di atas):

Alhamdulillah semua proses mempersiapkan dokumen dan wawancara berjalan lancar dengan bantuan dari:

-Guru-guru IC yang sabaaar banget digangguin untuk minta mulai dari reference letters (cc Mrs Nefa dan Bu Rene) sampai yang kantornya disamperin buat pinjam scanner, printer, dan dokumen pelengkap lain

-Teman-teman seangkatan (terutama seasrama dan seperjuangan ke Jepang) yang dititipin ini itu dan yang mau nganter ke sini ke situ, ngasih dukungan moral yang bener-bener membantu banget

-Adek absen yang bantuin persoalan Skype dll yang sungguh asing bagiku

-Keluarga yang selalu ngingetin saya agar tidak menunda-nunda

-Dan banyak lainnya yang nggak bisa disebutin semua

Jazakumullahu khayraa!

2 komentar pada “Dari Tangsel ke Nagoya #2: Drama Interview Nagoya Univ”

Komentar saya...