Jilbabku Berawal Darimu

Akhirnya, surat itu datang juga! Surat pemberitahuan tentang barang-barang dan hal-hal yang perlu disiapkan siswa baru sebelum datang ke kampus MAN Insan Cendekia Serpong. Aku sudah lupa berapa lembar jumlah halamannya, tetapi yang kuingat selalu tertulis di dalamnya: kerudung putih menutup dada, tidak transparan, kerudung olahraga, menutup dada, tidak transparan. Satu kata dariku kala itu, wah! Sementara respon ibuk, “Ayo nanti kita cari di pasar!”

Bagi kalian yang sudah pernah tinggal di pesantren atau sering mendengarkan kajian tentang “bagaimana wanita seharusnya berpakaian” tentu kata-kata “menutup dada” dan “tidak transparan” itu biasa. Tapi bagiku, hal tersebut agak asing. Sungguh.

Aku memang tinggal di lingkungan keluarga besar yang fanatik terhadap sebuah ormas Islam, aku pergi ke TPA setiap sore sejak aku di Taman Kanak-kanak hingga SMP awal. Sepupu-sepupuku bahkan mulai “dikurung” di pesantren sejak SD atau SMP. Tiap mereka pulang, tak hanya bahasa mereka saja yang berubah—tiba-tiba banyak sekali cakap dalam bahasa Arab atau Inggris, melainkan juga penampilan mereka. Apalagi kalau bukan kerudung warna-warni yang selalu bertengger/tersampir manis di kepala. Tapi sungguh, tak ada keluarga, guru TPA, atau sepupuku yang bilang bahwa kerudung itu..harus menutup dada dan tidak boleh transparan.

Ketika menjejakkan kaki pertama kali di MAN Insan Cendekia Serpong dengan status siswa baru, umurku sudah 14 tahun. Berarti sudah sekitar x tahun sejak tamu istimewaku datang. Nah pertanyaannya sekarang, sudah berapa lama pakai jilbab? 🙂

Aku belajar memakai jilbab sejak zaman TK. Maklum, TK-ku adalah sebuah TK muslim di bawah yayasan pondok pesantren. Namun, aku tak pernah benar-benar mengenakan jilbab hingga..SMA. Ya, hingga aku resmi menyandang status siswi ICS. Bagi sebagian anggota keluarga kami, berjilbab itu ya ketika pergi ke sekolah (jika sekolah itu adalah sekolah Islam), ketika lebaran, atau ada acara khusus. Bukannya tak tahu kalau berjilbab itu wajib, tapi hal yang satu ini agaknya memang sulit diterapkan tetua-tetua di rumahku, melawan kebiasaan dulu-dulu.

Dan hari itu pun datang. Hari ketika aku berangkat ke kampus MAN Insan Cendekia Serpong. Ibukku bersungguh-sungguh menyiapkan kerudung-kerudung baruku, dua buah kerudung putih, tebal, lebar, tidak transparan, dibeli dari tukang kain dan dineci pinggirnya. Beliau—dan aku tentu saja—beranggapan kalau itu sekedar syarat untuk sekolah.

Singkat cerita, aku pun menjalani Masa Orientasi Siswa atau di kalangan MAN IC lebih dikenal dengan Pekan Ta’aruf Siswa (PTS). Masih teringat jelas di hari pertama apel pagi, sambil terengah-engah aku menyimak kakak-kakak Tatib (tata tertib) “mengomel” lengkap dengan muka galaknya. Salah seorang di antara mereka baru saja selesai membacakan sebuah ayat, Al-Ahzab:59 tentang kewajiban mengenakan jilbab. Si kakak itu, yang membacakan ayat dengan hafalannya, sebut saja kakak U kemudian menjelaskan dengan singkat tentang jilbab yang benar, yang menutup dada, yang tidak nerawang. Ia lalu bertanya lantang, asumsiku tak meminta jawaban,

“Siapa di antara kalian yang merasa masih pakai kerudung transparan?”

“Suka kalian dilihat rambutnya sama laki-laki?!”

“Itu aurat, dek! Malu dek, malu!”

Malu? Jleb. Duh, kok selama ini aku sama sekali tidak pernah memikirkan konsep “malu karena menampakkan aurat” ya? Jangankan malu, menganggap kata “wajib” berarti “harus dilaksanakan” saja tidak terpikirkan.

Kembali ke lapangan tempat apel. Aku melirik-lirik kerudung teman-temanku. Memang, beberapa di antara mereka kala itu masih ada yang memakai kerudung paris. Mungkin memang itu saja yang dia bawa atau punya. Dan entah bagaimana, mungkin seseorang menjawab pertanyaan si kakak, sehingga kakak U melanjutkan,

“Siapa yang bawa kerudung lebih? Yang tidak nerawang? Pinjamkan ke teman kalian! Apa kalian suka teman kalian dilihat rambutnya oleh laki-laki?!”

“Peduli, dek! Peduli sama teman!”

Oh, peduli!

Aku mungkin memang tak ingat betul redaksi kata-kata kakak itu. Tapi yang jelas, aku belajar dan menyadari beberapa hal dari sini:

(1) memperlihatkan aurat itu dosa dan memalukan

(2) pentingnya kepedulian.

Peduli itu bukan hanya soal duniawi, misal ada teman yang kekurangan materi atau sebagainya lalu kita juga memberi materi. Peduli juga berarti siap membantu teman kita agar tak terjerumus dalam dosa.

Sungguh, aku tak pernah merasakan malu yang teramat sangat dengan rambutku hingga hari itu. Positif sudah, hidayah mengenakan kerudung kudapatkan saat apel PTS di dekat tempat wudhu, hari itu. Dulu-dulu aku suka pamer rambutku yang begini atau begitu, apalagi setelah didandani ibuk. Sejak saat itu, yang kuingat kata kakak tatib, malu dek, malu!!

 

Angin dan peniti

Selain kerudung yang (lagi-lagi kusebutkan) menutup dada, tidak nerawang, kami juga diajarkan cara memasang peniti pada kerudung kami. Setidaknya dibutuhkan tiga peniti dan sebuah jarum untuk memasang kerudung. Sebuah jarum dipasangkan di bawah leher untuk mengaitkan kerudung, sebuah peniti untuk mengaitkan kerudung dan baju masing-masing di sebelah kiri dan kanan. Pernah melihat poster jilbab Alil*? Nah, bahkan sebelum jilbab syar’i menjadi trend kami sudah diajari kakak-kakak kami begitu 🙂

Lalu, ke mana peniti yang satu lagi? Sabar dulu ya..

tut

Jika kamu penasaran dengan apa yang kami lakukan selama PTS, akan kujawab, lari. Ya, tidak pagi, siang, atau sore kami berlari. Literally berlari dari satu tempat ke tempat lain menghindari habisnya tenggat tujuh menit. Dan berlari, tentu saja mengejar pelajaran-pelajaran dasar tentang hidup sebagai muslim dan siswa baru MAN IC Serpong.

Saat-saat berlari itulah yang menjadi waktu paling berbahaya bagi kami, para perempuan. Kerudung kami berkibar bak bendera perang. Terkadang ada rambut yang mengintip, baik malu-malu atau hingga tak tahu malu. Ditambah lagi bulan Juli adalah bulannya angin. Tak segan-segan bayu (angin, bahasa Sansekerta) menyibakkan kain di kepala kami. Memberikan tontonan gratis bagi orang lain, sekaligus dosa bagi kami. Dan di saat-saat seperti itulah kakak-kakak tatib mengomel (lagi). Kali ini tentang peniti belakang.

Nah di sinilah kegunaan peniti ketiga sebagai peniti belakang. Peniti belakang adalah peniti kecil yang biasa disematkan di bagian ujung belakang kerudung. Peniti tersebut mengeratkan kerudung pada baju sehingga kerudung tidak akan tersingkap ketika si pemakai berlari atau kerudungnya tertiup angin. Peniti belakang pun menjadi barang wajib bagi para perempuan peserta PTS, tentu saja selain tompel (tanda terlambat) dan atribut lainnya.

Setiap hari selama PTS, kakak-kakak tatib tidak pernah lupa bertanya, mengabsen peniti kami,

“Siapa yang tidak pakai peniti belakang?”

“Suka ya pamer rambutnya? Rambutnya bagus?!”

“Siapa yang tadi pakai peniti di luar asrama? Tidak malu dilihat?”

 

Just like our life, PTS didn’t last forever :p

PTS usai setelah sepekan. Tapi pelajaran yang kami dapatkan dari pekan itu masih melekat sisa-sisanya. Sebagian dari temanku masih rajin mengenakan peniti belakang, hampir semua dari kami juga mengaitkan kerudung secara silang. Bahkan bisa kukatakan semua, ya semua teman perempuan kami suka mengingatkan. Mengingatkan dengan lembut atau disertai ketawa-ketiwi kalau-kalau kerudung kami kependekan, atau terlalu menerawang, atau yang seperti ini..

“Sst.. Itu itu..” Dagunya menunjuk-nunjuk

“Ada apa sih?”

“Ini lho..” tunjuknya (atau mereka) pada helaian rambut liar yang keluar dari sarang (baca: jilbab).

Sisa-sisa tahunku di MAN IC, alhamdulillah, masih terisi dengan banyak pembelajaran tentang menutup aurat—dan banyak hal lain juga! Dan mereka, teman-teman, kakak-kakak, serta guruku lah yang menjadi pengajar utamanya. Aku belajar teknik mendobel kain kerudung yang tipis, mengikat rambut agar tak sampai jadi punuk unta, menjaga agar si rambut-rambut liar jadi jinak (gunakan inner jilbab!), termasuk soal kaus kaki juga. Meski bagian yang ini datang hampir di akhir, aku benar-benar bersyukur dengan adanya teman-temanku yang melalui mereka aku mendapatkan hidayah untuk segera menutup bagian kakiku.

Oke, lalu aku jadi apa? Kakakku bilang, “Sampeyan saiki wis koyo arek wedhok temenan dek. Wis nganggo rok. (kamu sekarang sudah seperti anak perempuan dek. Udah pakai rok)” 😀

Walaupun, pada kenyataannya pakai sesuatu yang benar itu tak semulus di cerita atau seperti hidup di asrama Insan Cendekia. Melihat jilbabku, keluarga besarku beranggapan aku ini pengikut ormas M, “rival” ormas yang mereka ikuti. Tiap liburan, ada saja petuah dari bapak-ibuk untukku agar aku tak ikut aliran aneh-aneh. Bahkan dengan wajah herannya, bapak pernah bertanya, “Memang kerudungnya harus segini ya?” tentu saja setelah beliau terbiasa melihat para sepupu yang walaupun mondok kerudungnya masih sebatas sampiran tidak menutup dada.

Anyway, tidak ada yang kusesali dengan Insan Cendekia dan jilbab-jilbab itu. Sungguh, mengingat pelajaran yang satu ini rasanya bahagia dan syukur tak terkira. Semoga hidayah tak kapok menyapa, dan hati kita senantiasa ditetapkan pada jalan-Nya.

10991116_904511686236906_4055363014683530486_n
sumber: dokumen pribadi

“So, which of the Blessings of your Lord will you deny?” (Ar-rahmaan:13)

14 komentar pada “Jilbabku Berawal Darimu”

    1. Biasanya peniti kecil dikaitin ke jilbab lapisan dalam (kalau lapisan dalamnya agak panjang) atau lapisan luar kak habis itu udah dipenitiin aja ke baju bagian belakang. Tapi sebelum penitinya ditutup, kita nunduk sedalam2nya dulu buat ngepasin dan nggak ngerasa ketarik ke belakang.
      Kebayang ngga yah? 😀

      Suka

      1. satu bawah dagu
        satu di bawah telinga *kan makenya yg ditarik ke samping tea
        sisanya njentreng ajah tuh sampe bawah ujung jilbab.

        ahaha.. dan itugak ilang selama 3 tahun. ga karatan juga 😀

        Suka

Komentar saya...