Hari itu Namori pulang dengan wajah sumringah. Oke, jangan percaya. Tentu saja tidak sumringah, apalagi jika bawaannya sebanyak itu – terlalu banyak untuk anak kelas 1 SD di Indonesia. Ada tas bento di tangan kiri, suito (botol minum) dikalungkan di leher, tas merah dan cukup berat di pundak, plus handbag ukuran besar penuh dengan kertas-kertas di tangan kanan.
“Aah, berat sekali. Saya capek sekali. Kak Nisa lihat, saya bawa banyak sekali barang!” Kata Namori sambil lempar barang sana-sini.
“Hm.. Kak Nisa juga capek sekali, Namori. Tadi habis belanja bawa banyaaak banget.” Saya nggak bohong ya, apalagi ini pertama kali saya naik sepeda lagi setelah sekian lama.
“Lebih banyakan mana sama barang saya? Saya bawa 5 kilo! Kenapa anak SD disuruh bawa banyak-banyak??” Oke, permainan dimulai. Ngomong-ngomong dia pasti asal saja bilang 5 kilo ._.
“Saya juga bawa banyak Namori, berkilo-kilo.”
“Emang kak Nisa bawa apa? Beras kan? Apalagi? Sayur.. tuh kan masih berat punya saya.”
Oke, saya cukupkan sampai sini saja percakapan dengan Namorinya. Mau bagaimanapun nggak akan selesai, sampai dia berhenti ngomong hhe. Singkat cerita, setelah Namori memamerkan karya-karyanya dari sekolah (yang dibawa di handbag besar itu tadi), dia memamerkan buku barunya. Buku tersebut berjudul “Tanoshii Seikatsu”, artinya kira-kira “Hidup yang Menyenangkan”. Hei, judul bukunya saja menarik! Dan catat baik-baik, ini buku pelajaran!

Serasa nemu mainan baru, saya dan Namori membuka lembar demi lembar buku tersebut. Walaupun bahasa Jepang saya level teri, tapi saya masih bisa mengerti isi bukunya, yah masih kelas 2 SD sih 😀 Full color, gambarnya lucu, apalagi isinya! Saya benar-benar jatuh cinta ❤
Sambil membuka-buka si buku, saya memberikan sedikit penjelasan kepada Namori tentang apa yang akan dilakukan nanti ketika kelas 2 berdasarkan isi buku tersebut. Ada banyak sekali kegiatan seru, seperti: membuat take tombo (baling-baling bambu), menanam tanaman dan mempelajarinya, membuat permainan dari tanaman, belajar tentang siklus hidup serangga (contohnya kabuto mushi, rhinoceros beetle), pergi ke pasar dan melihat proses jual beli, pergi ke peternakan, dan banyaaak lagi.



“Wah saya tidak sabar naik kelas dua!” Seru Namori, padahal baru kemarin – dan setiap hari – dia bilang sekolah itu membosankan sambil terus lapor ke saya, Kenapa harus belajar terus? Saya mau sekolah di Amerika saja!
“Ii na… Sekolahnya Namori.” Saya bergumam saja, membayangkan serunya sekolah SD kayak Namori.
“Eh? Kenapa?”
dan saya dengan jujurnya jawab..
“Kalo kak Nisa balik jadi anak SD, kak Nisa mau di Jepang ah.” Hehe saya ngayal tingkat tinggi ya? Tapi memang, sejak tahu buku-buku pelajarannya Zahra-Akira (yang walaupun judulnya Sains atau Matematika tapi isinya lebih kayak majalah anak-anak) dan sistem pendidikan di TK juga SD di sini secara kasar, saya ngerasa suka banget. Selalu pengen tahu lebih dalam. Sampai pernah juga kepikiran nyekolahin anak saya nanti SDnya di Jepang atau homeschooling dengan emaknya sendiri tapi pembelajaran sains dan seikatsu (life)-nya agak nyontek yg di sini *halah. Huah, saya jadi pengen punya sekolah sendiri! Amiin ^^